Senin, 18 Oktober 2010

Horror Story - Petualangan Tengah Malam-

“Haruskah kita ke tempat ini? Menjijikkan (mungkin lebih tepat menakutkan. Hmm, tak apalah. Jangan sampai Sam tahu) sekali, sih! Yack. Sudah, aku mau pulang” Kataku kesal

“Bilang saja, kau takut, kan?” Ejek Sam meledakkan amarahku

“Hei! Jaga mulutmu!” Ukh, lumpur pekat menempel di celana jeans kesayanganku. Bokongku masih sakit gara-gara terjatuh di kubangan lumpur, tadi. Licin.

“Ya, ya” Ujar Sam. “ Hei Sue, kita sampai! Ini dia, kupersembahkan, Istana Setan, Mud House!”

Aku terpana (bukan karena terpesona). Aku tak bisa membayangkan aku berdiri di sini. Di hadapan rumah setan raksasa. Seluruh badanku gemetaran. Betapa megah rumah ini. Namun sayang, sudah tak ditinggali sejak puluhan tahun yang lalu. Mmm, beberapa dindingnya retak dan dipenuhi tanaman rambat yang mengerikan.

“S..sss..am, kau yakin?” Tanyaku ragu

“Oh, ayolah Sue, biasa saja. Tenang, aku akan menjagamu” Balas Sam sok berani

“Aku tak yakin” sahutku

Kamipun mulai memasuki rumah tak berpenghuni itu. Dan, pengalaman kamipun dimulai. Mungkin tidak terlalu menyenangkan. Yah, baca saja. Semoga bisa tidur nyenyak nanti malam. Selamat membaca!


......


Kami bergerak perlahan. Aku mengintil di belakang Sam. Sial, aku merinding.

“Hiii... disini banyak sarang laba-laba!” Aku sibuk mengibaskan sarang laba-laba besar diatas kepalaku.

“Bisakah, kau lebih tenang, Sue?. Kalau kau terus begini, kita tidak akan mendapatkan lilin itu. Tenanglah sedikit!” Ini kelima kalinya Sam mengingatkanku. Aku mendongkol. Apa urusanmu? Pikirku. Hmm, kami sampai diruang tengah. Seperti yang kuduga, cukup megah. Setidaknya, ruang ini bisa menampung 200 orang. Bisa jadi. Siapa tahu?

“Hueek.. di sini pengap Sam! Aku tidak bisa bernapas dengan benar!”

“Jangan berlebihan Sue. Di sini biasa saja. Kau aneh!” Sam bersungut

“Kau tidak bisa merasakan? Aneh, kupikir kau makhluk tanpa kulit.” Sahutku

“Hei! Kau ini seperti anak mama saja. Kau merinding karna takut. Dasar penakut” Sam naik darah

“Kau juga penakut, Sam. Camkan itu. Bahkan lebih penakut. Kau sok berani.” Kataku.
Sam diam saja. Sepertinya dia sedang ‘membaca’ rumah ini. Yah, kau tahu, hal-hal berbau mistik yang hanya dilakukan oleh orang bodoh. Sam memang maniak dengan hal-hal berbau mistis. Orang aneh. Siapa pula yang mau berurusan dengan makhluk tanpa bayangan yang melayang-layang di atap??


..................



“Cepat, Sam! Cepat!. Aku tidak mau orang aneh itu...” kata-kataku terhenti. Greek! Gretaakk!! Suara langkan tangga yang hancur semakin membuatku ngeri.

“Aaa... cepat Sam! Lari lebih cepat!” Pekikku

“Iya, aku tahu!” teriak Sam marah bercampur takut.

Secepat kilat aku berlari menuruni anak tangga lantai dua rumah tua ini. Gelap, benar-benar gelap. Aku sendiri tak dapat melihat kakiku dan anak tangga dibawahku. Langkan tangga yang masih utuh, satu-satunya pemandu jalan untuk mengarahkan kami, terus turun.

Sret.. buuk!! Aduh, sial! Aku terpeleset lagi. Ini kedua belas kalinya aku terpeleset. Menyebalkan. Lumut-lumut di sini nyaris berhasil menenggelamkan seluruh sepatuku. SEPATU BARUKU!. “Licin sekali, sih” bentakku. Sekarang warnanya pasti jadi tak karuan. Dari putuh mulus, menjadi hijau lumut bercampur lumpur yang menjijikkan. Sam masih mendingan. Dia pakai sepatu dad yang lama dan sudah kekecilan. Sial. Kali ini dia benar-benar beruntung. Awas, kau.

“Ayo cepat berdiri, Sue! makhluk itu semakin dekat!” Bisik Sam di telingaku. Dia menyodorkan tangannya. Menawarkan bantuan. ‘kalau begini, dia baik juga’ batinku. Dengan sigap kuraih tangannya. Dan berdiri tegak. Di antara kami, tidak ada yang saling mengejek. Lebih tepatnya, karna kami diselimuti kengerian dan ketegangan luar biasa dalam perasaan kami. Tolong – menolong , memang satu-satunya cara agar kami bisa selamat dan keluar dari rumah tua ini.

Sam berlari dibelakangku. Air mukanya jauh terlihat lebih ketakutan dibanding aku. Kalau saja suasananya bukan seperti sekarang ini, aku pasti bakal tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah pucat Sam yang nyaris terlihat seperti orang mati. “Hahaha... senterku berhasil menangkap wajahmu, Sam. Dan kau kelihatan konyol. Lain kali aku bakal tertawa”. Senang sekali aku saat menemukan senterku menyala kembali dari ‘kematian’ sesaatnya yang menjengkelkan dan membuatku terus menghujat.

Srakk!!... Bukk.. suara menegakkan bulu roma itu, berasal dari wanita angker berkapak. Makin dekat!.

“Aduh Sue, kita bakal terkejar!” pekik Sam

“Ayolah, kau kan atlet marathon, berlari secepat mungkin dan kita akan selamat!” sahutku berusaha mencairkan suasana.

“Kau sangat menjengkelkan, Sue. Kau tahu aku ikut lomba itu karna ada ‘lowongan’ saja, kan. Kalau Eddie tidak jatuh sakit, aku tidak akan ikut. Begitupun timku kalah karna aku terlalu lamban berlari. Kau benar-benar menyebalkan!” Balas Sam

Aku hanya menahan tawa. Geli sekali melihat Sam yang kelelahan berlari, sampai di garis finish, jadi yang terakhir. Wajahnya itu, menggelikan sekali. Keluar dari pikiran itu, batinku terus bergejolak, aduh, kapan tangga ini akan berkhir? aku mulai putus asa. Sementara itu, kaki kami sudah mati rasa berlari mencari pintu keluar.

“Dimana, sih pintunya? Aku sudah capek, nih!” tanya Sam juga sudah putus asa

“Sebentar lagi, ayo!” sahutku

“Dari tadi kerjamu hanya bilang ‘sebentar lagi, sebetar lagi’ tapi kita tak sampai-sampai. Aku lelah!” kata Sam.Aku tidak membalas. Aku memang tidak tahu pasti kapan kami akan menemukan pintu itu. Rupanya, wanita itu semakin bernafsu mengejar kami. Girang sekali, dia mengibaskan kapaknya ke kiri dan ke kanan. Menghancurkan apa saja yang ada di sekelilingnya.

“Kalian tidak akan lolos dariku!” teriak wanita itu marah

“Tidak! kau yang tidak bisa mengejar kami! tidak mungkin! ayo cepat Sue, kita harus bergegas keluar dari sini” kata Sam.Sial! rutukku. Benar-benar sial. Kalau saja bukan karna Mrs. Joanna. Kalau saja bukan karna pertaruhan itu. Kalau saja!. Kalau saja!

***

Kamis kemarin di sekolah, Mrs. Joanna, wali kelas kami, berinisiatif mengadakan uji nyali ’kecil-kecilan’ untuk menyambut Hallowen. Ya, hanya kelas kami saja. Sejujurnya, aku benci Hallowen. Itu hanya pesta konyol anak-anak kecil. Tapi, lagi-lagi hari itu aku tertimpa sial. Sial yang bertubi-tubi. Mulai dari terlambat masuk sekolah, di kelas –selama jam pelajaran Mr. Albert – aku tertidur dan dihukum habis-habisan, jatah makan siangku berserakan di lantai kantin, dan kali ini, Mrs. Joanna yang memulai. Tahu sendiri, bagaimana kepalanya bakal meledak dan menumpahkan segala isi otaknya kalau aku sampai tidak ikut kegiatan ‘bodoh’ ini. Aku tidak mau diskors 2 minggu lagi, gara-gara membantahnya. Begitu saja, mom sudah marah besar. Aku tidak boleh keluar rumah. Mengaktifkan komputer, apalagi membuka internet. Tidak boleh nonton TV, mendengarkan musik. Rumah macam apa itu... Jadi, aku benar-benar terpenjara dalam rumahku sendiri. Bagus!

***


Dan hari itu, kami memulai pertaruhan. Sederhana saja. Sebuah spidol akan diputar di tengah-tengah lingkaran murid, dan orang yang tertunjuk spidol ‘sialan’ itulah yang bakal melakukan uji nyali di rumah tua yang angker. Satu perempuan, dan satu laki-laki. Bagi siapa yang berhasil menyelesaikan pertaruhannya, akan mendapat 2 voucher gratis makan sepuasnya di kantin selama 2 bulan. Mereka harus mengambil satu batang lilin yang terletak di dalam salah satu kamar di lantai teratas rumah angker itu. Namun, aku terlanjur mengutuk hari itu. Dan dia menambah kesialanku. Aku dipasangkan dengan Sam, adik kembarku!. Oh, Tuhan ‘indahnya’ hari ini. Umur kami terpaut 4 bulan. Dan aku ‘agak’ membencinya.

***

Tahu kenapa?. Waktu itu, aku ingin membuat lelucon april mop padanya. Saat itu aku berumur 5 tahun. Aku iseng mengatakan pada Sam bahwa aku mendapat surat teguran dari Mrs.Paula, wali kelas Sam saat kami duduk di Taman Kanak-kanak , untuknya. Aku hanya disuruh menyampaikan. Dan aku bilang, bahwa beliau menunggu Sam dirumahnya. Sam ingin menangis ketika itu. Dia tahu Mrs. Paula guru yang galak. Dan dia sudah beberapakali melalaikan tugas dari beliau. Aku ingin sekali tertawa melihat Sam menangis. Namun aku berusaha menahannya dengan menggigit bibir bawahku. Sam dengan segera mengayuh sepedanya menuju rumah Mrs.Paula. selepas ia pergi, aku tertawa cikikikan. Berguling-guling di lantai sampai mengeluarkan air mata. Mengapa Sam begitu bodoh?. Namun, tak lama, Sam kembali dengan muka garang. Dia memukuliku dengan sandalnya. Akupun mengaduh dan menceritakan ideku itu. Di akhir kalimatku, aku dengan santai berkata, “Aku tidak salah, kan Sam? Ayolah, inikan april mop!. Kau saja yang tidak jeli melihat tanggalan. Lagi pula bukan salahku kalau kau begitu bodoh dan percaya pada semua perkataanku ”. Tanpa diduga, dia menangis. Menangis keras-keras. Kupikir, dia sengaja melakukannya agar dad dan mom tahu dan menghampiri kami. Dasar licik!. Telingaku sampai sakit dibuatnya. Dia mengadu pada mom dan dad. Dasar pengadu. Jadi, malam itu, aku dimarahi oleh dad. Sebenarnya, bukan memarahi. Hanya menegur dan menasihati. Tapi nadanya membuatku jengkel. Aku benci Sam. Pengadu.

Dan sejak saat itu, Sam bagai dirasuki hantu yang membuatnya membalas semua tindakanku dulu. Berlebihan malah. Dia pernah menyembunyikan tugas sekolahku. Dan tugas itu telah lewat dari tenggat waktunya. Padahal, hari itu adalah hari terakhir aku di beri kesempatan untuk menyelesaikannya. Jadilah, aku mendapat nilai nol pada tugas itu. Sam juga pernah memasukkan kadal dan ular sungguhan ke dalam tasku. Tentu bukan ular berbisa. Tapi cukup membuatku takut dan muak dengan Sam. Dan yang paling parah, dia nyaris menghabisi nyawaku. Sebenarnya, maksudnya, dia ingin mengerjaiku dengan membuat jebakan-jebakan konyol saat kami berjurit malam, di hutan. Dia memakai kain putih panjang supaya terlihat seperti hantu dan membawa-bawa pisau yang tanpa dia sadari, itu adalah pisau sungguhan. Orang yang konyol. Ketika aku berjalan masuk ke hutan, dia menodongkan pisaunya ke leherku dan membesetnya. Aku langsung menghindar. Karna, kalau tidak dia akan terus menekan pisau itu ke dalam leherku dan aku akan mati. Sialnya, kakiku terantuk batu dan aku jatuh terguling ke belakang. Kepalaku sangat pusing. Keterlaluan. Aku langsung mengaduh karna leherku berdarah dan badanku sakit semua. Dia sendiri langsung terkejut dan meminta maaf. Dia membopongku ke tenda darurat. Dasar menyebalkan! “Kau hampir membunuhku, tahu!” Bentakku. Dia hanya diam dan menundukkan kepala. “Ma..maaf..” katanya kemudian. Dasar menyebalkan!. Dan mulai saat itu aku jadi ‘agak’ membencinya.

***


“Itu pintu keluar Sue! Itu pintu keluar” teriak Sam girang membuyarkan lamunan sesaatku.

“Bagus ayo!” begitu sampai di depan pintu itu dan ingin membuka kenopnya, sekali lagi wanita itu mengayunkan kapaknya. “Cepat, Sam!” Sam menarik kenopnya yang sudah berkarat. Sepertinya sudah puluhan tahun tidak ditempati. “Aneh! dia tidak mau berputar!” kata Sam. “Apa? Sini biar kucoba!”. Aku mengerahkan seluruh tenaga memutar kenopnya. Tetap tidak mau!. Dan ketika itu kami baru sadar. ”Ki....ki...Kita terkunci.... Kita terkunci di dalam sini!” kataku nyaris tak berdaya. Kami sangat gentar menantikan kedatangan wanita itu. Dan menunggu kematian kami. Namun, seketika aku ingat kata-kata Mrs. Joanna di akhir pertaruhan. Aku tersentak “Kertas itu, Sam! Kertasnya! Kertasnya!” . Sam mengernyitkan dahi. “Kertas? Kertas apa?”. Aku sudah tahu. Sam tak mungkin paham dengan kata-kataku. Bukan karna dia dungu atau semacamnya. Tapi, karna penjelasan Mrs. Joanna di akhir pertaruhan begitu pelan. Dia sendiri asik membicarakan konser musik rock minggu depan dengan temannya. Aku tidak terlalu peduli. Namun aku mendengarkan Mrs. Joanna dengan cukup jeli. Bahkan sangat jeli. “Disekitar sini ada secarik kertas berisi petunjuk untuk keluar dari rumah ini! cepat cari. Kertas itu tertempel pada dinding di sekitar sini” kataku pada Sam. Sam masih bingung namun ia dapat menangkap semua perkataanku dengan amat jelas. Dan dia langsung bangkit mencari kertas petunjuk itu. “Ruangan ini berbentuk persegi. Kau mencari di sisi sebelah sana, dan aku di sebelah sini. Kita harus cepat Sam.” Aku mengarahkan lampu senter ke tempat-tempat yang dituju. Sam langsung bergerak. Cukup gesit. Sebenarnya, saat itu aku merasa ada yang agak aneh. Sebab, suara-suara berisik dari makhluk itu sudah tak terdengar. Agak ganjil, memang. Tapi aku sempat bersyukur. Tak butuh waktu lama untuk mencari. “Ketemu!” Sahut Sam. “Bagus! Mana?”. Sam mengoper kertas itu padaku. Dan kami langsung membacanya dalam cahaya lampu senter. Lumayan jelas. Meski kami harus memicingkan mata untuk membacanya. Disitu tertulis.

"Pada bulan biru merah, tersihir cahaya hitam. Dua yang jadi satu. Saling bertemu.
Pada dinding-dinding kelabu. Dalam cahaya yang tak dapat menembus waktu. Terlalu lambat. Sang pangeran pias, masih tetap menunggu. Dalam cahaya yang tak dapat ditembus waktu. Pada bulan biru merah, tersihir cahaya hitam. Dua yang jadi satu. Saling bertemu.”


Sial! Ini teka-teki!”. Aku mulai panik lagi. Aku tahu kami berdua tidak ahli dalam memecahkan teka-teki. Apalagi bikinan Mrs. Joanna. Aku baru sadar Sam sudah sangat pucat. Namun ia masih saja berusaha memecahkan teka-teki itu. “Pada bulan biru merah..? kau tahu artinya, Sue?” Tanya Sam. “Mm..mm..?” Aku menggeleng. “Terlalu sulit. Aku tak dapat mengerti satu katapun” Aku sudah sangat pasrah. “Sudahlah, kita tak mungkin bisa keluar dari sini. Dengar, sekarang sudah pukul 1 dini hari. Kita tunggu sampai pagi. Mungkin Mrs. Joanna akan datang dan membukakan pintu untuk kita.” Kataku pada Sam berusaha menenangkan pikirannya. Lama kami memikirkan teka-teki itu. Sam yang lelah menyandarkan diri di sudut ruangan. Kraang.. Klontangg!!! Sam yang kaget, sontak menghindar dan menjauh. “A..a..ad..d..ada sesuatu disana!” Dia menunjuk sudut dinding itu. Sam ketakutan dan mendekat padaku.”A..aa.aa..pa itu?” tanyanya tergagap. Aku memberanikan diri melangkah mendekat. Mengayunkan senterku. “Sue! Jangan! Mungkin saja itu jebakan! kau tahu, Mrs. Joanna orang yang sangat iseng. Atau mungkin, itu mayat pemilik rumah ini yang sudah membusuk!” bisik Sam. Jujur, itu membuatku merinding. Sam paling ahli soal menakut-nakuti orang. Tapi, dia sendiri juga ketakutan. Namun aku berusaha untuk tidak telalu menghiraukannya. Dan ketika cahaya senterku menangkap siluetnya, aku menjerit tertahan. “Se..se..bu..buah kapak!” bissikku pada Sam. Sam, lagi, mengernyitkan dahi. “Untuk apa kapak di tempat seperti ini?” tanyanya. Pikiranku medadak sadar. “Ini kapak, Sam! Ini kapak! cepat angkat dan kita hancurkan pintu itu!” Kataku lega. Sam juga mulai kembali pada pikirannya. Ia mengerti. Dengan segera, ia mengambil kapak itu dan memukulkannya ke pintu beberapa kali hingga pintunya hancur dan bolong. “Ayo, cepat! Kita keluar dari rumah ini!” Sam menarik tanganku. Aku berlari di belakangnya. Kami menyusuri jalan ditngah rawa-rawa. Meninggalkan rumah itu dibelakang kami. Dan seketika aku sadar akan sesuatu. Sam menggenggamku sangat erat. Tapi, genggaman tangannya, bukan seperti biasanya. Agak aneh. Aku memanggil Sam perlahan. “Sam?” kataku lirih. Sam memalingkan wajahnya padaku perlahan sambil tersenyum lebar. Aku terlonjak dan tak sadarkan diri.



“Pada bulan biru merah, tersihir cahaya hitam. Dua yang jadi satu. Saling bertemu.
Pada dinding-dinding kelabu. Dalam cahaya yang tak dapat menembus waktu. Terlalu lambat. Sang pangeran pias, masih tetap menunggu. Dalam cahaya yang tak dapat ditembus waktu.
Pada bulan biru merah, tersihir cahaya hitam. Dua yang jadi satu. Saling bertemu.”






Maaf GJ............ terimakasih sudah membaca,



Niken

Tidak ada komentar:

Posting Komentar